Jalurdua.com mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional Indonesia 9 Februari 2024

Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Gelorakan #SemangatSalingBantu, Astra Distribusikan 15.000 Paket Bantuan Tahap Pertama

JAKARTA: Memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19, tak dapat dipungkiri kesadaran untuk berbagi dan saling membantu masih menjadi hal yang sangat berarti. Hal tersebut dapat diwujudkan...
BerandaEBisUMKMBuah Manis dari Bisnis Pecel Lele

Buah Manis dari Bisnis Pecel Lele

Bagi sebagian masyarakat daerah, hewan ternak merupakan aset yang sangat berharga. Wajar jika mereka (masyarakat daerah) memilih untuk memelihara hewan ternak (semisal kambing) ketimbang harus menyimpan uangnya di Bank.

Beda dengan sudut pandang Sutrisno, Pria berusia 40 tahun yang lahir di Desa Kubang, Tarub Kabupaten Tegal ini, memilih menjual aset (kambing) berharganya demi mengadu nasib di kota besar, kota metropolitan yakni Jakarta. Saat itu, Trisno sangat yakin bahwa dengan modal uang hasil jual kambing yang telah dipeliharanya sejak dia masih duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) itu, akan mengantarkan dirinya serta keluarganya menuju gerbang kesuksesan nantinya.

“Tak dol bae wedusku dinggo mangkat lan modal usahaku nang Jakarta (Saya jual kambingku buat berangkat dan modal usahaku nanti di Jakarta),”tutur pria yang kerap disapa Trisno oleh teman-temannya.

Perjalanan Panjang Menemukan Usaha Yang Tepat

Di Jakarta, Trisno mengaku, mulai bingung dengan apa yang harus di perbuat. Belum dapat pekerjaan atau usaha, serta kebutuhan hidup yang besar di kota metropolitan mulai dari makan, bayar kos – kosan dan lain – lain, mulai menggerus uang hasil jual kambing. Atas pertimbangan itu, Trisno langsung ambil langkah agar segera mungkin dirinya memiliki usaha sendiri di Jakarta.

“Nduwe duit sitik hasil ngedol wedus, bingung arep usaha apa yah nang Jakarta (Punya uang sedikit hasil jual kambing, bingung mau buat usaha apa yah di Jakarta),”gumam Pria kurus lulusan SLTP 1 Kedung Banteng, Tegal.

Dengan modal usaha yang kecil, akhirnya Trisno memutuskan untuk menjalani usaha jualan aksesoris mulai dari pita, bandana, jepitan rambut, pulpen dan lain sebagainya. Jualan keliling dengan jalan kaki pindah dari tempat satu ke tempat lainnya, bahkan sampai menawarkan ke penumpang bus kota dilakoninya untuk bisa bertahan hidup di Ibukota.

“Nyong wis pernah dodolan aksesoris nang dalan – dalan, nang bis lan terminal kayak Lebak Bulus, Semper, Priok lan daerah liane (Aku sudah pernah jualan aksesoris ke jalan – jalan, di dalam Bus dan terminal kayak di Lebak Bulus, Semper, Priok dan daerah lainnya),”ucap Trisno.

Tampaknya usaha yang digeluti Trisno ini tidak lama dijalankannya, karena hasil dari jualan aksesoris tidak dapat mencukupi besarnya kebutuhan hidup di Jakarta. Uang hasil jualan kambing habis, Trisno mulai kebingungan memikirkan dengan cara apa dirinya mencukupi biaya hidupnya. Akhirnya, Trsino bertemu dengan orang satu daerahnya yang tergolong sukses di kampungnya karena memiliki usaha warung kopi (warkop) serta agen sembako di bilangan Thamrin.

“Duit wis entek ludes, aku bingung arep keprimen maning yah. Akhire aku ketemu Kajine (Pak Wahid) di kon ngerewangi dodolan warkop karo agen sembakone. (Uang sudah habis sama sekali, aku bingung mau gimana lagi yah. Akhirnya aku ketemu sama Kajine dan disuruh bantu – bantu (kerja) jualan di warkop dan agen sembako miliknya),”tutur Trisno.

Dengan berjalannya waktu bahkan sampai bertahun – tahun  Trisno mulai banyak belajar di warkop dan agen sembako milik Wahid. Berbekal kejujuran dan semangat kerja yang keras, Trisno berhasil menjadi orang kepercayaan Wahid.

Namun demikian, Trisno ternyata tidak cukup puas dengan hasil yang telah diperoleh dari kerja di warkop dan agen sembako milik orang lain ini. Usut punya usut, pria berusia 40 tahun itu berencana membuka usaha sendiri yakni Pecel Lele. Bagai gayung bersambut, sepertinya niatan Trisno tersebut mendapat jalan lancar seiring dengan tersedianya lokasi (lapak) untuk dijadikan tempat usaha pecel lelenya nanti. Akhirnya, Trisno dengan sangat terpaksa melepas pekerjaan serta memberanikan diri kehilangan mata pencarian demi terwujudnya cita – cita memiliki usaha sendiri.

“Kue sekitar tahun 2012 ari ra salah, aku olih lapak kue gratis dinggo tempat usaha pecel lele. (itu sekitar tahun 2012 kalo ga salah, aku dapat tempat gratis buat usaha pecel lele),”kata Trisno.

Jatuh Bangun Serta Keraguan Mulai Melanda

Dengan dana yang terbatas, dirinya yakin bisa memiliki usaha sendiri. Mengingat harga gerobak pada saat itu tergolong mahal sekitar Rp2-3 jutaan, dengan kemampuan yang dia bisa serta penekanan biaya, Trisno mulai mengumpulkan kayu – kayu bekas yang ada disekitar kos- kosanya untuk membuat gerobak sendiri. Alhasil, Trisno berhasil memiliki gerobak tanpa harus mengeluarkan uang banyak.

Satu persatu peralatan sudah di dapatkanya, dan akhirnya Trisno berani membuka warung perdananya. Awal berdagang, warung pecel lele Trisno masih sepi bahkan tidak melayani pelanggan satupun. Tak jadi penghalang, dihari kedua Trisno kembali menanak nasi, menyiapkan peralatan berniaganya, serta memanskan minyak gorengnya. Semangat itu mulai berkobar setelah ada satu pelanggan yang mulai singgah di warung pecel lelenya.

“Awal buka ora ana sing tuku blas, ngesuke sih Alhamdulillah ana sing gelem tuku meski siji tok, tapi kue nggawe semangat aku. (Awal buka ga ada yang beli sama sekali, besoknya Alhamdulillah  ada yang beli meskipun satu doang, tapi itu bikin semangat aku),”tutur Trisno.

Hari kehari, bulan ke bulan, bahkan tidak terasa  sudah satu tahun, Bisnis pecel lele Trisno tidak mengalami perkembangan. Semangat mulai luntur dan goncang pada saat itu lantaran usaha yang dijalani tidak menghasilkan sama sekali bahkan sering sekali tombok.

“Bayangna bae, sedina mung olih mung rongatus ewu, boro – boro ngantongi duit luwih yah, bisa belanja maning lan mangan beh syukur. (Bayangin aja, sehari hanya dapat uang Rp200 ribu, boro -boro bisa nymipen uang lebih yah, bisa buat belanja dan makan saja udah bersyukur)”ujar Trisno sambil menepuk keningnya.

Melihat serta merasakan fakta yang ada, sontak Trisno berniat menutup warung pecel lelenya yang berlokasi di Thamrin. Ada sekitar  kurang lebih sekitar satu tahunan  warung tersebut akhirnya tidak beroperasi. Dan akhirnya Trisno memutuskan untuk pulang kampung tanpa keberhasilan yang dijanjikan ke keluarganya.

Keluarga jadi kekuatan dan sumber semangat menjalankan usaha

Berkat dorongan Istri dan Anaknya, Trisno kembali mengobarkan semangatnya untuk melanjutkan usaha pecel lelenya. Di tahun 2015, dirinya memboyong keluarganya (Istri dan Anak) ke Ibukota guna melanjutkan bisnis yang pernah dijalaninya setelah lama mati suri.

“Bojo lan anakku sing nggawe aku semangat maning (Istri dan Annaku yang bikin aku semangat lagi),”pungkanya.

Trisno percaya, dengan dukungan Istri dan anak serta kebersamaan menjalankan usaha, niscahya dirinya akan mendulang kesuksesan kelak. Akhirnya, Trisno dan Istri mulai berjuang bersama menjalankan roda bisnisnya yaitu pecel lele. Dikala orang lain masih tertidur pulas, pada pukul 05.00 WIB, Trisno dan Istrinya sudah bergegas ke pasar untuk berbelanja kebutuhan berdagangnya, mulai dari lele, ayam, tahu, tempe, cabai, bawang, dan lalapan di belinya.

“Jam lima esuk kue aku wis manasi motor dinggo belanja kebutuhan dagang nang pasar karo bojoku. (Jam 5 pagi itu saya sudah hidupin motor buat belanja kebutuhan dagang di pasar sama istriku)”kata Trisno.

Berangkat dari usaha yang serius, kerjasama yang solid serta dijalani dengan penuh rasa senang dan  ikhlas, akhirnya membuahkan hasil yang indah. Dagangan pecel lele Trisno dan Istrinya  sekarang laris manis. Pasalnya, sekitar 15-17 ekor ayam, 7 kilo lele, ditambah tahu tempe ludes dalam waktu hanya berapa jam saja (buka jam 18.00 WIB – 22.00 WIB). Ditambah, sekarang, Trisno dan Istrinya memperkejakan 2 orang di warung tersebut. Dengan begitu, sudah pasti omzet  dari hasil penjulannya meningkat pesat.

“Alhamdulillah, ari saiki olihe bisa nganti Rp1,5 juta lah per hari, kue bersih yah. (Alhamdulillah, kalau sekarang omzet bersihku bisa dapat sampai Rp1,5 juta per harinya),”tukasnya.

Walhasil, berkat kegigihan serta keprihatinan Trisno dan Keluarga dalam tiga tahun menjalankan usahnya, mereka berhasil memiliki tempat tinggal sendiri (rumah) di Desa Pagongan, Tegal yaitu tempat lahir Istrinya. Bangunan yang cukup apik (perkiraan harga Rp450-500 juta) tersebut berdiri di atas lahan seluas 115 meter persegi. Selain tempat tinggal, Trisno juga telah memiliki kendaraan sendiri berkat kerja keras yang telah dijalani dirinya dan dukungan dari keluarganya.

“Aku bersyukur maring Gusti Allah,aku wis diwei Istri soleha. Saiki aku wis nduwe umah, nduwe kendaraan dewek, kue berkat Gusti Allah melalui keluargaku sing terus ndukung usahaku. Aku mung ngalap berkahe Gusti Allah, lan aku donga tolong gadikena aku wong sing pandai bersyukur. (Aku bersyukur kepada Allah, udah di kasih iistri yang soleh. Sekarang aku sudah punya rumah, punya kendaraan  sendiri, itu semua berkat Allah melalui keluargaku yang terus mendukung usahaku. Aku hanya mengharap berkah Allah dan aku berdoa tolong jadikan aku orang yang pandai bersyukur,”harapnya. (sah/her)