Jalurdua.com mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional Indonesia 9 Februari 2024

Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Saat Demokrasi Nyemplung ke dalam Secangkir Kopi

"Ngopi dulu, jangan kampanye terus, ntar kelebihan suara di TPS. Gak enak sama yang lain," itulah kalimat pertama saya pada seorang caleg muda dalam...

Bundu-Bundu

Siapakah pemilik atau pewaris kebangkitan nasional? Rasanya, jawabannya untuk skala lingkungan tempat saya bermukim saat ini yaitu bundu-bundu. Ia memenuhi syarat yang cukup sebagai jawaban temporer.

Banyak jenis usaha yang masih tegar bertahan di tengah pandemi covid-19. Namun tidak ada yang sedahsyat pola pertahanan bundu-bundu. Mulai pelosok pedalaman sampai gang sempit di kota besar, bundu-bundu masih saja perkasa di tengah badai.

Bundu-bundu adalah sebuah istilah yang begitu membumi dalam Bahasa Bugis yang artinya warung. Biasanya merupakan usaha kecil milik keluarga yang berbentuk kedai, kios, toko kecil, atau rumah makan sederhana. Warung adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia. Para pakar ekonomi memasukkannya dalam kategori UMKM.

Bundu-bundu bertahan di tengah pandemi lantaran menjadi penyuplai kebutuhan konsumen di lingkungan sekitarnya. Ia identik dengan “garoppo” alias makanan ringan untuk anak kecil. Selain itu juga dilengkapi ragam kudapan, permen, rokok, omg dan berbagai macam barang-barang keperluan sehari-hari. Bundu-bundu adalah simbol kehebatan ekonomi rakyat. Dia simbol ketangguhan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan ekonomi.

Dalam pertemuan Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia, September 1961, Bung Karno berbagi pendapat mengenai pengertian kemerdekaan. Menurut Bung Karno, kemerdekaan berarti mengakhiri penghisapan bangsa atas bangsa, yang langsung maupun tidak langsung. Hanya dengan kemerdekaan itu, kita punya kebebasan untuk menjalankan urusan-urusan ekonomi, politik, dan sosial budaya sesuai konsepsi nasional kita.

Penjelasan Bung Karno secara gamblang membabat argumentasi segelintir orang termasuk di kalangan elite Indonesia bahwa kemerdekaan hanya dimaknai dengan menghilangnya kolonialisme secara fisik. Bagi mereka, perjuangan kemerdekaan sudah selesai dengan adanya pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.

Di benak Bung Karno, sekalipun sebuah bangsa sudah memproklamirkan kemerdekaan, bentuk-bentuk kolonialisme lama masih bercokol. Kolonialisme lama, dengan menggunakan jubahnya yang baru, yakni neo-kolonialisme, akan terus menjaga kepentingan-kepentingannya di bekas negara jajahan.