Manusia Bugis-Makassar meletakkan burasa di meja makan bukan hanya di hari lebaran. Burasa terbiasa eksis melengkapi hari lain. Melengkapi coto, konro, bahkan nyoknyang. Berabad-abad dia dibungkus daun pisang dan “papparampa.”
Ketika menemui hari lebaran tanpa burasa secara fisik lantaran halal bihalal pun hanya virtual akibat pandemi, maka manusia Bugis Makassar hanya bisa mencium lekat aroma ketulusan burasa. Dia terpancar dari cahaya cinta orang-orang yang memasaknya.
Keluarga dan tetangga bisa jauh dan dekat. Namun burasa menyatukan segala selera. Sebagaimana ketupat, legese, kampalo, dan lainnya. Di sana kita menikmati gurih dan lezatnya berkumpul dalam ekstase tertentu. Alam menyediakan semua bahannya. Mulai beras pilihan, santan kelapa terbaik, hingga daun pisang yang membungkusnya.
Tidak ada sinonim yang pas dengan kata “papparampa” di dalam kamus mana pun. Selaku perspektif komunikasi kultural-religius, “papparampa” sekilas bahasa basa basi. Namun memancarkan rasa ikhlas dari keramahan perilaku Bugis-Makassar. Idiom lainnya yaitu “pappisabbi”.
Mengutip budayawan dan sastrawan Bulukumba, Andi Mahrus Andis, “Papparampa adalah moral budaya leluhur yang layak dilestarikan untuk memupuk rasa ‘asselessurengeng’ atau ukhuwah atau persaudaraan.”
Sembari bersilaturahim melalui layar android atau pun laptop, kita saling ber-papparampa. “Makanki burasa. Janganki malu-malu.”
Namun papparampa selalu lebih dibanding basa-basi. Sejak dulu tetangga-tetangga kita membawakan berbagai makanan dan buah-buahan sesuai musimnya. Lagi-lagi dibaluri papparampa, “Laoki di bolae manre burasa.”
Pustaka RumPut, 23 Mei 2020