Di setiap sudut masjid dan halaman rumah, gema takbir berkumandang. Udara pagi Idul Adha terasa berbeda, penuh harapan dan keikhlasan. Sungguh hari yang dinanti-nanti oleh Mahendra, seorang pria sederhana dengan hati yang lapang, meski kantongnya tak selalu penuh.
Mahendra selalu bermimpi untuk bisa melaksanakan qurban. Setiap tahun, ia menabung dengan penuh semangat, berharap suatu saat mampu membeli seekor kambing untuk disembelih. Namun, realitas kehidupan seringkali lebih berat dari impian. Uang yang terkumpul selalu terpakai untuk kebutuhan mendesak keluarganya.
Namun, semangat Mahendra tak pernah padam. Baginya, qurban bukan sekadar tentang kambing atau sapi, melainkan tentang pengorbanan dan keikhlasan hati. Dengan niat suci, ia memutuskan untuk berkontribusi dengan cara lain. Pagi itu, ia datang ke masjid dengan senyum dan tenaga yang penuh semangat.
Di halaman masjid, ia melihat para jamaah yang mampu membeli hewan qurban, berdiri dengan bangga dan bersyukur. Mahendra tak merasa kecil hati. Ia tahu, rezeki setiap orang berbeda, dan Allah melihat niat di balik setiap tindakan.
“Mahendra, maukah kau membantu kami membagikan daging qurban ini kepada warga yang berhak?” tanya seorang panitia dengan lembut.
Dengan mata berbinar, Mahendra mengangguk. “Dengan senang hati, Pak. Saya akan lakukan dengan sepenuh jiwa.”
Sepanjang hari, Mahendra berjalan dari rumah ke rumah, membawa potongan-potongan daging qurban. Setiap langkahnya adalah doa, setiap senyum yang ia berikan adalah keikhlasan yang tulus. Ia melihat senyum kebahagiaan dari mereka yang menerima, anak-anak yang berlari girang, dan para orang tua yang bersyukur.
Di balik peluh yang mengalir, hati Mahendra terasa hangat. Ia sadar bahwa meskipun ia tak bisa berqurban dengan kambing, ia telah berqurban dengan tenaga dan keikhlasan hatinya. Dan mungkin, itulah yang paling berharga di mata Sang Pencipta.
Ketika matahari mulai terbenam, Mahendra kembali ke masjid. Ia duduk di sudut halaman, merenungi hari yang telah berlalu. Seorang sahabatnya mendekat dan duduk di sampingnya.
“Mahendra, kenapa kau begitu giat membantu? Aku tahu kau sendiri sebenarnya ingin berqurban,” ujar sahabatnya, penuh simpati.
Mahendra tersenyum, menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Aku memang ingin berqurban, tapi bukan hanya untuk diriku sendiri. Aku bercita-cita ingin membeli hewan qurban untuk almarhum kedua orang tuaku yang telah wafat. Mereka selalu mengajarkanku tentang pentingnya berqurban dan berbagi, tapi mereka tak pernah sempat melakukannya sendiri. Aku ingin melanjutkan cita-cita mereka.”
Sahabatnya terdiam, terharu mendengar niat tulus Mahendra. “Suatu hari nanti, kau pasti bisa mewujudkannya,” kata sahabatnya, penuh keyakinan.
Malam itu, Mahendra pulang dengan rasa damai. Ia tidak membawa pulang kambing atau daging, tetapi ia membawa pulang kebahagiaan yang mendalam. Ia tahu, di hadapan Allah, semua pengorbanan diterima, selama dilakukan dengan ikhlas dan penuh cinta. Dengan hati yang tenang, Mahendra berdoa, berharap suatu hari nanti ia akan mampu membeli hewan qurban untuk almarhum kedua orang tuanya. Hingga saat itu tiba, ia akan terus berkorban dengan cara yang ia bisa, memberikan dirinya untuk orang lain, karena sejatinya, itu adalah makna terdalam dari Idul Adha.
Agusto Sulistio
Senin, 17 Juni 2024 – 04.45 Wib, Kalibata, Jakarta Selatan