Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China sering kali menjadi sorotan dunia, mengalami fase ketegangan dan kerja sama. Setelah periode keterlibatan konstruktif, kini hubungan kedua negara kembali tegang, mirip dengan situasi di awal 1960-an. Faktor utama ketegangan ini adalah persaingan ekonomi, teknologi, dan militer yang diperburuk oleh perubahan politik domestik di kedua negara. Ketegangan ini menciptakan tantangan serius bagi stabilitas global.
Hubungan AS-China saat ini berada pada titik paling tegang sejak awal 1960-an, dengan ketegangan yang diperkirakan akan terus meningkat. Ketegangan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan luar negeri yang saling bertentangan dan dinamika politik domestik yang kompleks di kedua negara.
Kebijakan Luar Negeri dan Politik Domestik AS.
Menjelang pemilu presiden AS, kebijakan luar negeri terhadap China menjadi isu penting di Washington. Baik di bawah pemerintahan Trump maupun Biden, AS mengadopsi pendekatan yang keras terhadap China, mencerminkan konsensus bipartisan bahwa China adalah tantangan strategis utama. Trump memulai dengan kebijakan agresif terhadap China, mengidentifikasi negara tersebut sebagai pesaing strategis dan ancaman bagi kepentingan AS. Meskipun pemerintahan Biden berusaha berbeda dengan pendekatan yang lebih diplomatis, kebijakan keras terhadap China tetap berlanjut, termasuk memperkuat aliansi di kawasan Indo-Pasifik dan membatasi pengaruh China di organisasi internasional.
Respon China Terhadap Kebijakan AS.
Bagi Beijing, kebijakan keras AS menandakan bahwa siapa pun yang menang dalam pemilu AS mendatang, sikap konfrontatif terhadap China akan berlanjut. Sebagai respons, China memperketat kontrol domestik dan meningkatkan ketahanan terhadap pengaruh eksternal, mencerminkan kekhawatiran terhadap upaya AS yang dapat mempengaruhi stabilitas domestik.
Implikasi Global
Hubungan AS-China semakin terlihat sebagai permainan zero-sum, di mana setiap langkah satu pihak dianggap sebagai ancaman oleh pihak lain. Di Washington, China dianggap berusaha menggantikan AS sebagai kekuatan dominan global, sementara di Beijing, langkah AS dilihat sebagai upaya menahan kebangkitan China. Persepsi saling ancam ini mendorong ketegangan lebih jauh, dengan kedua negara memperkuat posisi strategis masing-masing.
Multipolaritas dan Contoh Nyata
Multipolaritas merujuk pada tatanan dunia di mana kekuatan politik dan ekonomi tidak lagi terpusat pada satu atau dua negara adidaya, melainkan tersebar di antara beberapa negara dengan kekuatan dan pengaruh yang signifikan. Dalam konteks ini, dunia tidak lagi hanya dikendalikan oleh AS dan Uni Soviet seperti pada era Perang Dingin, tetapi oleh beberapa negara kuat lainnya.
- Uni Eropa (UE). Sebagai entitas politik dan ekonomi, UE adalah contoh multipolaritas dengan pengaruh besar di perdagangan global, kebijakan iklim, dan regulasi teknologi. Keberadaan UE menciptakan keseimbangan kekuatan di antara Amerika Serikat dan China, memberikan alternatif dalam hubungan ekonomi dan diplomatik.
- India. Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pengaruh regional di Asia Selatan, India memainkan peran penting dalam multipolaritas. Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, India sering dianggap sebagai penyeimbang kekuatan terhadap pengaruh China di Asia.
- Rusia. Meskipun ekonominya lebih kecil dibandingkan dengan China atau AS, Rusia tetap memiliki pengaruh besar, terutama dalam kebijakan energi dan militer di Eropa Timur dan Timur Tengah. Rusia sering memposisikan dirinya sebagai penantang tatanan global yang didominasi oleh AS dan sekutunya.
- Brazil. Sebagai pemimpin di Amerika Latin, Brazil berperan penting dalam politik regional dan ekonomi global. Pengaruhnya terlihat dalam forum internasional seperti BRICS, yang terdiri dari Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, yang bekerja sama untuk mempromosikan kepentingan ekonomi dan politik negara-negara berkembang.
Dampak Multipolaritas:
- Stabilitas Global. Dengan kekuatan yang tersebar di antara beberapa negara, multipolaritas dapat menciptakan stabilitas karena tidak ada satu negara pun yang dapat mendominasi sepenuhnya. Namun, ini juga bisa memicu konflik regional karena persaingan pengaruh antar negara.
- Kerjasama Internasional. Multipolaritas mendorong kerjasama di antara negara-negara untuk menghadapi tantangan global, seperti perubahan iklim, terorisme, dan pandemi. Negara-negara multipolar sering kali berpartisipasi dalam aliansi dan organisasi internasional untuk memperkuat posisi mereka.
- Kompetisi Ekonomi. Dengan banyaknya pusat kekuatan ekonomi, multipolaritas dapat meningkatkan persaingan dalam perdagangan dan investasi, yang bisa menguntungkan negara-negara yang lebih kecil dengan memberi mereka lebih banyak pilihan dalam hal mitra ekonomi.
Kesimpulan
Ketegangan yang terus meningkat ini menunjukkan bahwa hubungan AS-China sangat rapuh dan memerlukan pendekatan yang hati-hati. Kedua negara perlu mencari cara untuk menghindari konflik terbuka dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan global, seperti perubahan iklim dan pandemi. Stabilitas hubungan ini tidak hanya bergantung pada siapa yang menang dalam pemilu AS, tetapi juga pada kemampuan kedua negara untuk menyesuaikan kebijakan mereka dalam menghadapi dunia multipolar. Tanpa penyesuaian tersebut, dunia berisiko mengalami ketidakstabilan yang berkepanjangan, yang berdampak negatif pada kedua negara dan komunitas internasional.
Oleh: Agusto Sulistio – Pendiri The Activist Cyber, Pegiat Sosmed.
Jakarta, 9 Agustus 2024