Foto: Pengurus GEKANAS bersama Buruh Pekerja di depan Gedung MK, Jakarta.
Sejak disahkan pada 2020, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja telah memicu berbagai aksi penolakan dari berbagai elemen masyarakat, terutama para pekerja yang merasa hak-haknya terpinggirkan. Aliansi Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS) bersama jutaan pekerja di Indonesia berjuang agar Mahkamah Konstitusi, yang mereka harapkan sebagai benteng keadilan, dapat melindungi hak-hak pekerja yang terancam oleh regulasi baru ini. Setelah menunggu 1,5 tahun penuh ketidakpastian, para pekerja kini menggantungkan harapan besar pada keputusan Mahkamah Konstitusi yang akan diumumkan pada 31 Oktober 2024 mendatang.
Bagi GEKANAS, UU Cipta Kerja merupakan tanda nyata bahwa negara semakin berpihak kepada oligarki ketimbang rakyat kecil. Undang-undang ini memberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk memberlakukan praktik ketenagakerjaan yang fleksibel, mulai dari upah rendah hingga aturan PHK yang lebih mudah dan merugikan pekerja. Kebijakan ini, dalam pandangan GEKANAS, menunjukkan betapa negara telah menjadi agen kekuatan korporat yang lebih mengutamakan kepentingan pengusaha tanpa memperhatikan kesejahteraan pekerja sebagai penggerak utama ekonomi.
Dampak dari UU Cipta Kerja juga terlihat dari tingginya angka pengangguran yang makin sulit teratasi, dengan 2,5 juta angkatan kerja baru yang memasuki pasar setiap tahun namun tidak terserap. Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 dan PP No. 51 Tahun 2023 tentang pengupahan justru dipandang sebagai bentuk “kediktatoran hukum” yang menekan hak ekonomi pekerja. Bukannya mendorong kesejahteraan, peraturan-peraturan ini memperketat kebijakan upah minimum sehingga daya beli pekerja terpuruk. Alih-alih meningkatkan taraf hidup, kebijakan ini malah menambah beban mereka di tengah tingginya inflasi.
Bagi GEKANAS, UU Cipta Kerja juga melanggar hak asasi para pekerja. Dalam Pasal 28A dan Pasal 281 UUD 1945, hak-hak dasar untuk hidup layak, bebas dari penindasan ekonomi, dan bebas dari praktik perbudakan modern diatur secara tegas. Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak-hak ini juga diatur secara lebih rinci. Negara semestinya menjamin seluruh hak tersebut, namun dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja, posisi pekerja seolah dikesampingkan demi kepentingan pihak lain.
GEKANAS juga mengkritik proses pembuatan undang-undang yang dinilai telah melanggar nilai-nilai Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila seharusnya menuntun seluruh peraturan perundangan untuk menjunjung tinggi keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam realitasnya, UU Cipta Kerja justru cenderung menguntungkan perusahaan besar dengan meminimalkan hak-hak pekerja. Kebijakan ini tak hanya mencerminkan kekecewaan dan rasa tidak adil yang dirasakan para pekerja, tetapi juga dinilai mengkhianati nilai-nilai dasar bangsa.
GEKANAS berharap Mahkamah Konstitusi mendengarkan suara mereka dan membatalkan Klaster Ketenagakerjaan dalam UU No. 6 Tahun 2023. Tuntutan ini bukan hanya demi kesejahteraan ekonomi pekerja, tetapi juga merupakan seruan agar keadilan konstitusional benar-benar dijalankan. GEKANAS ingin agar Mahkamah Konstitusi berperan sebagai “mahkamah keluarga” yang memedulikan kebutuhan rakyat, khususnya mereka yang berada di lapisan bawah dan berjuang demi kelangsungan hidupnya.
Lima Tuntutan GEKANAS atas UU Cipta Kerja:
- Penghapusan Sistem Upah Murah dan Kerja Fleksibel yang Merugikan
GEKANAS menolak aturan upah murah dan fleksibilitas jam kerja yang dianggap merugikan kesejahteraan pekerja. Upah yang layak dan perlindungan jam kerja yang manusiawi adalah hak dasar yang tidak bisa dikompromikan. - Penjaminan Kestabilan Ketenagakerjaan melalui Aturan PHK yang Lebih Kuat
UU Cipta Kerja yang memungkinkan PHK tanpa aturan jelas perlu dibatalkan. GEKANAS menuntut adanya kebijakan PHK yang mengutamakan prosedur adil demi melindungi hak pekerja atas pekerjaan yang stabil. - Peninjauan Kembali Kebijakan Pengupahan dalam PP No. 36/2021 dan PP No. 51/2023
Kebijakan pengupahan dalam PP tersebut dianggap merugikan pekerja, dan GEKANAS mendesak agar ketentuan upah minimum yang lebih layak diterapkan, sehingga pekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak. - Pengembalian Hak Asasi Pekerja sebagai Hak Konstitusional yang Wajib Dilindungi
GEKANAS menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi hak hidup, hak bebas dari penindasan ekonomi, serta hak bebas dari perbudakan. UU Cipta Kerja yang ada sekarang dianggap mengabaikan hak asasi pekerja dan harus ditinjau kembali. - Pencabutan Klaster Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja
GEKANAS menuntut agar seluruh ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan dihapus, sebagai langkah awal untuk memulihkan hak pekerja yang terabaikan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi nanti akan menjadi pengukur, apakah lembaga ini masih mampu menegakkan keadilan bagi rakyat kecil atau semakin jauh dari semangat konstitusi yang mengedepankan kesejahteraan dan keadilan. Di tengah kegelisahan dan harapan besar, GEKANAS berharap agar Mahkamah Konstitusi bukan hanya berfungsi sebagai lembaga peradilan, tetapi juga menjadi pelindung keadilan dan kemanusiaan yang mengayomi seluruh warga negara tanpa pandang bulu.
Jakarta, 30 Oktober 2024
PRESIDIUM GEKANAS
- R. Abdullah, Dwi Hartoro, Abrar Ali, Sofyan Abdul Latief.
Editor: Agusto Sulistio