Jalurdua.com – Ada beberapa pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP yang mematikan demokrasi dan amanah reformasi terutama Pasal 256 di mana ada ancaman pidana penjara selama enam bulan bagi penyelenggaraan demonstrasi tanpa pemberitahuan dan berakibat huru-hara.
“RKUHP bentuk pembungkaman terhadap aktivis dan kelompok kritis terhadap pemerintah,” kata pendiri Jaringan Nusantara yang juga Aktivis 98 Heri Sebayang kepada wartawan, Senen (11/7/2022).
Kata Heri, Pasal 256 dalam draf RKUHP bertentangan dengan Pasal 28 UUD 45.
“Pasal 256 RKUHP bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 yang menjamin kebebasan berpendapat di muka umum yang berbunyi bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya,” paparnya.
Heri juga menyoroti Pasal 240 dan 241 RKUHP yang memuat hukuman penjara selama 4 tahun bagi orang-orang yang dianggap menghina pemerintah. “Ini bentuk kesewenang-wenangan negara untuk mempersempit ruang gerak kritisisme dan membuka ruang bagi pemerintah untuk menjadi anti kritik,” jelas Heri.
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal 134 terkait penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Pasal ini dianggap multitafsir dan akan menjadi alat pemerintah membungkam masyarakat yang kritis, namun sangat disayangkan ternyata dalam RKUHP kembali dimunculkan oleh pemerintah dan DPR
Ia minta dengan tegas kepada Presiden Jokowi agar menolak RKUHP yang baru, menghapus pasal-pasal yang bersifat membungkam, menangkap, dan intimidasi terhadap aktivis demokrasi yang melakukan kebebasan mengeluarkan pendapat di depan umum, media massa ataupun media lainnya.
Selain itu, Heri mengatakan, masa kepemimpinan Presiden Jokowi hampir mirip dengan Era Orde Baru. “Masih banyak terjadi Penangkapan terhadap aktivis, elemen masyarakat yang kritis dan gagal mensejahterakan rakyat,” pungkas Heri.
(Agt/sumber: AS)