Tapanuli Selatan – Pada tanggal 4 Agustus 2024, ditemukan kematian Orangutan Tapanuli di Kawasan Ekosistem Batangtoru. Namun, berita mengenai kejadian ini tidak mendapat perhatian dari media atau lembaga-lembaga non-pemerintah yang mengklaim peduli terhadap pelestarian spesies langka ini. Ketua NNB Tapanuli Selatan, Riski Abadi Rambe, mengungkapkan kekecewaannya terhadap kurangnya respons dari Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC). Menurut Riski Abadi Rambe, YOSL-OIC, yang dikenal sebagai Human Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU), gagal menunjukkan komitmen nyata dalam melindungi Orangutan Tapanuli. Kematian orangutan ini disebabkan oleh lambatnya penanganan dan ketidakhadiran dokter hewan dari YOSL-OIC, yang berada di Medan pada saat kejadian.
Riski Abadi Rambe menilai bahwa banyak lembaga yang mengklaim aktif dalam pelestarian orangutan sebenarnya hanya mengejar kepentingan pribadi dan donor. Kasus ini bukanlah yang pertama, karena sebelumnya juga terdapat kejadian serupa yang ditutup-tutupi oleh YOSL-OIC.
Komentar senada disampaikan oleh Perimadona Rambe, seorang pegiat konservasi. Ia mencatat bahwa pada 24 Agustus 2024, YOSL-OIC mengadakan perayaan Hari Orangutan di Hotel Torsibohi, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Perayaan ini tampaknya mengabaikan kematian Orangutan Tapanuli, menunjukkan ketidakpedulian terhadap masalah tersebut. Selain itu, meskipun beberapa NGO, seperti GJI (Green Justice Indonesia), PRCF Indonesia, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), COP (Centre for Orangutan Protection), dan SRI (Sumatra Rainforest Institute) diundang dalam acara tersebut, YKI (Yayasan Konservasi Indonesia) tidak termasuk dalam daftar undangan. Keberadaan NGO yang mengklaim berperan aktif dalam pelestarian orangutan Tapanuli dipertanyakan karena mereka tidak memberikan tanggapan atas kematian orangutan tersebut.
Dalam dua bulan terakhir, ini merupakan kematian kedua Orangutan Tapanuli, namun BBKSDA-SU, sebagai stakeholder utama dalam perlindungan satwa, juga dianggap tidak memberikan respons yang memadai. CSO lokal mengecam keras situasi ini dan berencana untuk mengajukan tuntutan kepada pihak berwenang, termasuk BBKSDA-SU dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk mengusir NGO yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi.
Riski Abadi Rambe juga menolak rencana menjadikan Kawasan Ekosistem Batangtoru sebagai Kawasan Strategis Nasional, yang diduga hanya untuk kepentingan penjualan karbon. Menurut Rambe, hal ini akan menguntungkan pihak-pihak tertentu sambil mengabaikan kepentingan pelestarian lingkungan dan masyarakat lokal.