Jalurdua.com mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional Indonesia 9 Februari 2024

Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

― Advertisement ―

spot_img

Menurunnya Aksi Protes Pilpres Curang Akibat Kepentingan Kekuasaan Parpol

Oleh: Agusto Sulistio - Mantan Kepala Aksi dan Advokasi PIJAR era90an. Meskipun Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, mantan aktivis mahasiswa dengan rekam jejak prestasi positif,...
BerandaHeadlinePetinggi KAMI, Anton Permana, Dituntut 2 Tahun, Pengacara : Kita Akan Patahkan...

Petinggi KAMI, Anton Permana, Dituntut 2 Tahun, Pengacara : Kita Akan Patahkan Dalam Pledoi

Dr. Anton Permana bersama kuasa hukum – Foto : Ist.

Jalurdua.com – Jakarta | Setelah sempat tertunda hampir satu bulan, sidang pidana terdakwa Anton Permana petinggi KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) di lanjutkan pagi hari ini senin 28 maret 2022 di Pengadilan Jakarta Selatan. Sidang pagi ini merupakan sidang yang ke enam puluh sekian dengan agenda tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Sidang tadi berlangsung singkat, karena sesuai kesepakatan yang di pimpin oleh ketua majelis Hakim bahwa JPU cukup membacakan poin penting saja.

Permintaan itu diterima oleh semua pihak baik terdakwa dan tim pengacara yang di hadiri Penasehat Hukum, Dr. Anton Permana, yakni Pengacara Syamsir Djalil, Ridwan alias Oned, Burhan, dan Mustaris.

Pembacaan tuntutan yang dibacakan oleh Lusyana berkeyakinan dan menyatakan terdakwa bersalah dan melakukan tindak pidana melanggar Peraturan Pidana nomor 1 tahun 1946 pasal 14 ayat 1 dan 2. Yaitu menyebarkan berita bohong dengan sengaja dan menimbulkan keonaran di tengah masyarakat.

Usai dibacakannya tuntutan, Majelis Hakim mempersilahkan terdakwa dan tim pengacara untuk membacakan pledoi pembelaan pada agenda sidang berikutnya.

Sidang selanjutnya ditetapkan pada dua minggu mendatang dengan agenda pembacaan Pledoi.

Tim pengacara yang diwakili Burhan dan kawan-kawan, menyatakan tidak terlalu kaget dengan tuntutan JPU tersebut

Karena menurutnya dalil yang digunakan Jaksa adalah dalil usang, yaitu peraturan pidana era kolonial dimana aturan tersebut dibuat oleh Perintah RI yang baru saja merdeka, dalam keadaan darurat, yang mana saat itu Pemerintah kita belum memiliki DPR.

Kemudian secara azas memori vanlesting, peraturan tersebut di buat di masa darurat untuk bangsa Indonesia yang baru merdeka. Tanpa mengenal HAM dan demokrasi, tambahnya.

“Sangat jauh berbeda dengan kondisi kita hari ini yang menyatakan dirinya sebagai negara Demokrasi dan menjunjung tinggi Hak Azazi Manusia, pungkas dia usai sidang.

Abdullah Alkatiri selaku ketua koordinator tim Pengacara yang absen di pengadilan, melalui komunikasi HP menyatakan bahwa tuntutan JPU menggunakan dalil Peraturan Pidana tahun 1946 sungguh tidak ada dasarnya lagi.

“Karena dalam dua perkara yang di sidangkan, satu pun tidak ada dalam fakta persidangan di temukan unsur kebohongan, melebih-lebihkan, apalagi menciptakan keonaran,” ucapnya.

“Kita akan patahkan semua argumentasi hukum dari pada tuntutan JPU tersebut dalam pledoi pembelaan terdakwa dua minggu ke depan,” tegas Alkatiri.

Dalam perkara dugaan ujaran kebencian dan hoax terkait RUU Omnibuslaw, Annton Permana ditangkap secara terpisah bersama dua rekannya esama petinggi KAMI yaitu Syahganda Nainggolan dan Muhammad Jumhur Hidayat.

Jumhur dan Syahganda lebih dahulu menerima vonis.. Syahganda dituntut 6 tahun oleh JPU Depok / PN.Depok, Jawa Barat dan vonis 10 bulan penjara.

Sedangkan untuk Muhammad Jumhur Hidayat, JPU PN Jakarta Pusat menuntut 3 tahun dan vonis juga 10 bulan tanpa dipenjara.

Ketiga petinggi KAMI didakwa pasal yang sama, yaitu pasal 14 ayat 1 dan 2 dari Peraturan Pidana tahun 1946. Dimana kediganya dikaitkan dengan demonstrasi penolakan RUU Omnibus Law atau Cipta Kerja pada bulan Oktober 2020 tahun lalu.

Meskipun kemudian UU Ciptakerja / Omnibuslaw dinyatakan Inskonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), namunt mereka tetap dipidana bersalah.

Kritik yang dijatuhkan kepada ketiganya masih menjadi buah bibir dikalangan praktisi hukum dan kalangan aktivis dan akademisi, pasalnya mereka jalani hukum oleh UU yang dinyatakan kemudian Inkonstitusional.

Sementara klarifikasi dari pemerintah atas apa yang diterima oleh Syahganda, Jumhur, Anton dan para mantan terdakwa terkait RUU Omnibuslaw lainnya belum dilakukan oleh lembaga yudikatif negara RI.