Judul di atas saya pinjam dari kalimat seorang pengunjung di Kedai Kopi Litera. Saya lupa namanya. Dan saya lupa menanyakan siapa gerangan yang dia dukung dalam Pilkada 2020 di Bulukumba. Untung saja saya tidak lupa memberinya uang kembalian. Dia pereguk kopi yang cukup keren. Matanya merem melek menikmati tegukan terakhir Kopi Soekarno yang tanpa gula.
Benarkah kekuatan “ideologis” masih memiliki efek dalam mempengaruhi kecenderungan pemilih di level pilkada? Sayangnya belum ada riset resmi soal itu dari lembaga manapun. Itu bukan kata saya. Itu ucapan si om.
Si om yang satu ini pengunjung dadakan alias tak terencana ke Kedai Kopi Litera. Si om awalnya bertanya, “Tabe dek, di sini tempat fotocopy?”
Saya jawab, “Ye bukan om, di sini tempat ngopi. Tempat fotocopy di sebelah, om.”
“Tapi kayaknya tutup. Kalo begitu saya ngopi.”
“Iye om, kan yang penting sama-sama ada kata ‘kopi’ di belakangnya.”
Si om tertawa. Kami sama-sama ketawa. Yang tidak sama adalah gigi saya masih cukup lengkap. Sedangkan gigi si om sudah jauh dari kata lengkap. Namun “kecemmoannya” itu tidak membatasi keriangannya tertawa lebar.
Pada Pilpres 2019 lalu, Prabowo-Sandi unggul di Bulukumba. Partai-partai pengusung Prabowo-Sandi hari ini di Bulukumba hampir dipastikan melabuhkan dukungan resmi kepada pasangan bakal calon Andi Utta-A. Edy. Sedangkan partai-partai pendukung Jokowi memantapkan dukungannya secara resmi untuk TSY-Andi Makkasau.
Saya menyimak serius uraian si om. Dia mereguk kopinya lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. Agaknya si om ini sangat luas wawasannya soal politik.
Jika nostalgia Pilpres 2019 mempengaruhi kecenderungan pemilih Bulukumba dalam pilkada 2020 maka sungguh menarik mencermatinya. Itupun jika kubu yang diuntungkan mampu mengelola isu tersebut dengan apik. Masalahnya, persoalan figur masih menjadi kecenderungan terkuat di kalangan masyarakat Bulukumba.
Masyarakat Sulsel punya pengalaman memenangkan Nurdin Abdullah pada Pilgub lalu. Padahal PDIP yang mengusung Nurdin Abdullah justru mati kutu dalam Pilpres maupun Pilcaleg 2019. Tidak linear memang. Kita tidak sedang berada di negeri yang meresapi sistem kaderisasi partai politik yang mentradisi secara ideologis. Para politisi kita pun masih lebih banyak menggemari cara menjelma kutu loncat.
Si om menyudahi celotehnya seiring tegukan terakhir pada kopinya. Si om pamit dan berterima kasih. Saya juga berterima kasih.
Begitulah, saya bukan pengamat politik. Namun saya suka mengamati para pengunjung kedai kopi Litera yang kebetulan lagi membahas politik. Bahkan kadang jadi pendengar yang baik jika ada seorang “pengamat politik” lagi ngopi dan berceloteh.
Hasil pengamatan saya selama ini adalah mereka yang membincang politik lebih didominasi peminum kopi. Bukan peminum Ice Thai Tea atau pun Ice Green Tea.
Satu hal yang bisa saya pastikan, mayoritas pembaca kecewa dengan tulisan ini. Lantaran mereka tidak menemukan apa yang mereka cari. Namun saya bisa jamin bisa menemukan kopi jika Anda mampir di Kedai Kopi Litera.(*)