“Ngopi dulu, jangan kampanye terus, ntar kelebihan suara di TPS. Gak enak sama yang lain,” itulah kalimat pertama saya pada seorang caleg muda dalam ‘perbincangan unfaedah’ di sebuah kedai kopi. Dan dia pun terpingkal sejenak.
Untuk istilah ‘muda’, pemahaman di era digital sangat berbeda. Mereka masih menganggap diri ‘muda’ atau bahkan menyebut dirinya ‘pemuda’ padahal usia sudah 30 tahun.
Mereka memang kebanyakan sulit memahami sejarah karena malas ke perpustakaan, apalagi sampai ada niat beli buku bermutu. Bung Karno pertama kali ditangkap pemerintah Hindia Belanda karena menulis esai berbahaya di koran pada saat usianya 28 tahun. Bung Hatta mulai menulis buku mendokumentasikan pemikirannya pada usia 16 tahun. Jenderal Soedirman dilantik menjadi Panglima TNI pada usia 29 tahun.
Masih merasa muda di usia 30-40? Sungguh terlalu! Maju sebagai kandidat ketua organisasi ‘kepemudaan’ justru di usia 50! Ayo, ayo siapa lagi? Banyak pula yang sudah merasa sebagai ‘tokoh pemuda’ di kampung jika sudah bisa memengaruhi 10 orang. Padahal ‘tokoh pemuda’ di zaman revolusi kemerdekaan punya standar: mampu memimpin sebuah laskar perjuangan dengan minimal jumlah pasukan 100 orang. Tapi harus dicatat, mereka bukan Laskar ‘Mengkuni’ yang intoleran, radikal, teroris, pro penjajah Zionist, dan tidak paham Pembukaan UUD 1945 dan Permenlu.
- Saat Demokrasi Nyemplung ke dalam Secangkir Kopi
- Saya Orang Pertama Yang Akan Mengobok-Obok Kantor Bupati
- Pilkada 2020 Bulukumba adalah Nostalgia Pilpres 2019
- Dari Karpet Selingkuh Sampai Do’a Ibu
- Sudah Terlambat Ganyang Neo-PKI Melalui Cara Konstitusional
Tak ada kopi sejati yang tak pahit dan tak ada diskusi bermutu yang tak sepat-sepat gurih aduhai. Itu hanya bisa terjadi jika kebetulan berbincang dengan seorang anak muda yang datang membawa topik membosankan, tapi dia mampu mengubahnya menjadi perbincangan segar.
“Apa itu demokrasi?” tanya si caleg muda, seolah bertanya kepada dirinya sendiri, sembari mengaduk kopinya yang lebih mirip cokelat karena di sana ada susu.
“Demokrasi adalah peristiwa. Dan peristiwa itu baru memenuhi syarat sebagai demokrasi ketika rakyat tidak takut mengatakan hal yang benar!” ia sendiri yang menjawabnya dengan cepat ketika melihat saya mulai membuka mulut.
Memang itu bukan defenisi demokrasi yang lazim. Dan saya cukup percaya anak muda ini tidak sedang sok tahu. Itu adalah ekspresi intelektualisme seorang anak muda dan kebetulan dia caleg. Untuk sementara, saya mencurigainya sebagai anak muda ‘idealis karbitan’. Dalam hal ini dia bukan karbitan yang berhubungan dengan ‘Mahkamah Keluarga’. Soalnya dia lumayan se-frekuensi jika ngobrol tentang hubungan parpol dengan oligarki. Yang pasti dia bukan tipe si ‘Gibrong’ dan ‘pamannya’.
“Lantas kenapa tetiba kamu mau masuk ke parlemen? Dulu, dulu sekali, ngomongin politik pun kamu alergi! Yang saya tahu kamu cuma suka bahas PUBG dan Mobile Legend!”
“Hari ini kita tak boleh diam bang. Harus ada yang ke sana, dan berbuat sesuatu, sementara di luar harus ada yang tetap menyemangati,” ujarnya cukup bersemangat lalu meneguk kopinya.
“Hari ini bangsa kita belum pulang ke Sila ke 4 Pancasila secara benar, anak muda,” saya memancing, sambil nyengir.
“Betul, bang. Sila ke 4 Pancasila sesungguhnya tidak mengenal demokrasi seperti yang kita kenal hari ini. Seharusnya tidak perlu ada parpol!”
“Ya, sepakat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan itu harusnya diwakilkan kepada orang-orang yang tepat untuk permusyawaratan perwakilan dari tempat kita masing-masing. Ngapain ada Pemilu dan parpol? Hanya kebanyakan ‘bandit’ yang selalu menang,” sahut saya, nyengir lagi.
Saya hanya bisa membayangkan jika caleg muda ini benar-benar menemukan takdirnya menjadi legislator. Akankah dia tetap teguh dengan sikap dan pemikirannya?
Lalu saya menawarkan konsep revolusi. Tak dinyana, dia langsung setuju!
“Masalahnya, siapa orang yang tepat yang bisa memimpin revolusi?” saya menyergah
“Rakyat, ya rakyat!” sahutnya, terdengar yakin.
“Revolusi yang tidak terkordinir dan kacau,” sahut saya.
“Pemimpin yang paling tepat adalah ulama,” katanya, dengan nada suara sekenanya.
“Ah, lupakan sejenak revolusi jika hari lahir Pancasila yang benar saja masih linglung. Jika kamu jadi legislator, apakah kamu bisa jamin dirimu tidak tersandera kebijakan parpol, sementara parpol juga tersandera oleh pemodal, oligarki?”
“Kemungkinan besar iya, namun bagaimana saya bisa tahu hal itu terjadi terhadap saya jika saya tidak mencobanya dan mengalaminya?”
Caleg dengan kapasitas otak seperti ini sepertinya sangat jarang. Yang banyak berseliweran adalah caleg ‘isi tas’. Setiap lewat, mereka tak ubahnya ‘duit’ bagi sebagian masyarakat. Kebanyakan mereka setiap mau pamit pasti meninggalkan setumpuk kartu. Isinya berupa foto dan nomor urut. Menambah saja persoalan baru: ‘sampah kertas sekaligus sampah demokrasi’.
Saya lalu menukil sebuah dongeng yang pernah saya baca di sebuah buku cerita di masa kanak-kanak. Kisahnya tentang seorang pendekar pembela kebenaran menyamar menjadi perampok dan ikut bergabung dalam sebuah gerombolan perampok yang malang melintang berbuat kejahatan di sebuah kerajaan.
“Apakah kamu ‘pendekar’ itu anak muda?”
“Hahaha, mungkin bukan bang. Tapi siapa tahu itu saya jika orang-orang mampu menyusupkan saya ke gerombolan perampok,” jawabnya sambil tertawa.
Obrolan lalu merambah ke mana-mana. Salah satunya, tentang apa sih syarat untuk menjadi caleg? Jika hanya bisa melenggang ke parlemen dengan ‘isi tas’ maka siapa pun bisa.
Dan siapa pun calegnya, level mana pun, harus ditanya lebih dahulu, apakah dia sudah tahu tugas dan fungsi jika berhasil terpilih menjadi legislator?
Jangan-jangan sampai hari ini dia belum tahu cara mengidentifikasi masalah di dapilnya. Dia tak tahu soal data, semisal berapa petani di dapilnya. Belum lagi, apa saja masalah bagi petani di dapilnya sedikitnya dalam 10 tahun terakhir. Itu baru satu profesi: petani. Dan petani juga macam-macam. Mulai petani padi hingga petani palawija.
Jika sudah bisa mengidentifikasi masalah di dapilnya, maka dia harus sudah bisa merancang, setidaknya dalam angan-angannya, tentang rancangan peraturan daerah atau peraturan perundang-undangan terkait dengan masalah di dapilnya.
Bagaimana mau mikir Ranperda. Kemampuan literasi saja nol. Bagaimana cara bisa menuliskan gagasan dan pemikirannya. Siapa tahu dia jago bicara? Jago bicara saja tidak cukup, Ferguso! Jago bicara tidak paralel dengan ketok palu di parlemen nanti.
Jika ada caleg yang minta 1 suara saja dari saya, maka saya harus bilang bahwa aspirasi dari satu orang belum tentu dia bisa serap seutuhnya, apalagi aspirasi banyak orang satu dapil.
Di hari-hari ini, baru saja kita melangkah keluar dari rumah, langkah kita langsung dihadang baliho berisi foto orang-orang yang tidak kita kenal sama sekali. Lalu bagaimana cara kita mengenal isi kepalanya?
Dan hampir pasti, kebanyakan mereka tidak tahu sama sekali substansi Sila ke 4 Pancasila. Kecuali hanya bisa melafalkannya, itu pun jika hapal.
Sebagaimana mereka sekadar ngopi tapi tak tahu sedikit pun filosofi paling sederhana dari kopi. Apa itu? Kopi yang baik adalah kopi yang toleran terhadap peminumnya. Tidak segera habis tapi peminumnya selalu menemukan cara menikmati secara tuntas.
Hanya satu pertanyaan yang tak pernah terjawab dari diskusi seperti ini: “Apakah dengan menyamar menjadi perampok tidak memungkinkan kita ikut menjadi perampok beneran?”(*)
Ditulis di Kedai Kopi Litera pada awal musim hujan dan mati lampu bergiliran, 27 November 2023.